Kabupaten Aceh Tenggara berada di Lembah Alas, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Sebuah hikayat menyebutkan bahwa Tanah Alas dulunya adalah sebuah danau besar, yang terbentuk pada masa Kwartnaire. Secara faktual hal ini dapat dilihat dari banyaknya nama desa atau daerah yang masih menggunakan kata pulo (pulau), ujung, dan tanjung, seperti Pulo Piku, Pulonas, Pulo Kemiri, Pulo Gadung, Pulo Latong, Tanjung, Kuta Gerat, Kuta Ujung, dan Ujung Barat.
Selain itu, ditemukan banyak kuburan yang berada di atas gunung, seperti kuburan Raja Dewa di atas gunung Lawe Sikap, kuburan Panglima Seridane di atas Gunung Batu Bergoh, dan kuburan Panglima Panjang di atas Gunung Panjang. Nama alas sendiri diyakini berasal dari kata alas yang bermakna tikar atau landasan karena berbentuk lapangan yang sangat luas.
Sejarah perjuangan rakyat Indonesia membebaskan diri dari penjajahan khususnya di Aceh tidak dapat dilepaskan dari perang yang terjadi di Lembah Alas dan dataran tinggi Gayo Lues, dua wilayah yang menjadi cikal bakal lahirnya Kabupaten Aceh Tenggara (AGARA). Beberapa pertempuran besar terjadi di Tanah Alas dan Gayo Luas, seperti perang Likat dan perang Kuta Rih. untuk Susunan pemerintahan di seluruh Aceh mulai dibenahi pada awal tahun 1946 dengan mengelompokkan daerah-daerah yang berada ìdi tengahî Aceh, yakni Takengon, Gayo Lues, dan Tanah Alas ke dalam satu keluhakan yang disebut Keluhakan Aceh Tengah. Ibukota keluhakan direncanakan digilir setiap enam bulan antara Takengon, Blangkejeren, dan Kutacane.
Jarak yang sangat jauh dan waktu tempuh yang sangat lama antara Kutacane ke Takengon (sekitar 250 km ditempuh dalam waktu 5-8 hari dengan jalan kaki) atau kalau menggunakan kenderaan harus melalui Medan, Aceh Timur, dan Aceh Utara dengan menempuh jarak sekitar 850 km, menyebabkan pelaksanaan pemerintahan tidak berjalan efektif. Terlebih lagi pada tanggal 21 September 1953 meletus Peristiwa Aceh (Daud Bereueh), yang mendorong beberapa tokoh yang berasal dari Sumatera Utara mencoba memasukkan daerah Tanah Alas ke dalam wilayah Sumatera Utara. Namun upaya ini tidak mendapat dukungan dari rakyat di Tanah Alas.
Pada tahun 1956 Pemerintah Pusat menyadari bahwa salah satu penyebab meletusnya Peristiwa Aceh adalah dileburnya Provinsi Aceh ke dalam Provinsi Sumatera Utara dan memutuskan untuk mengembalikan status provinsi kepada Aceh. Hal ini semakin mendorong pemimpin di Tanah Alas dan Gayo Lues untuk membentuk kabupaten sendiri, terlepas dari Kabupaten Aceh Tengah.